Kamis, 03 Maret 2011

Just Chit chAt NothinG elsE


Kebanyakan dari kita mungkin tidak menyadari, bahwa dalam keseharian kita berinteraksi dengan menggunakan lebih dari satu paradigma secara simultan. Ambil contoh saat berkomunikasi menggunakan telpon selular. Kita saling telpon atau berkirim sms menggunakan paradigma decimal (1 sampai 10), setelah itu suara dan teks sms tersebut ditranfer dengan menggunakan paradigma biner (0 dan 1, atau on dan off). Lalu seandainya dalam percakapan tersebut kita membuat janji untuk bertemu pada satu hari tertentu (dengan menggunakan paradigma minggu 1 sampai 7), pada jam tertentu yg kita hitung berdasarkan paradigma lain yang juga berbeda (1 sampai 12), yang juga masih ditambah dengan paradigma biner (am atau pm). Perbedaan paradigma itu terasa wajar saja, malah menfasilitasi, mengakselerasi komunikasi.

Seperti diskusi2 selintas selama ini, berdasarkan ide (dugaan) yang dilontarkan oleh mas johannes bahwa dulunya science, art dan magi itu merupakan suatu kesatuan. Tidak dipermasalahkan dimana science bermula, dimana art berakhir dan dimana magi menghantui.Tidak ada sekat karena sekat-sekat tersebut yang justru membuat kita sekarang gagal memahami teknologi dan pencapaian peradaban di masa silam. Ambil contoh, kosmologi science semata apakah mampu menjelaskan mengenai bagaimana orang dulu bisa membangun sebuah candi yang bernama prambanan, bagaimana sebuah keris dapat memiliki kekuatan atau efek terhadap alam, atau bagaimana sebuah tarian bedoyo ketawang mampu menampilkan kesatuan gerak manusia dan alam.

Kalau saja kita bersedia untuk mengkaji secara langsung artefak-artefak luhur tersebut, tanpa mempermasalahkan sekat-sekat tersebut, mungkin sistem pengetahuan dan teknologi masa lampau tersebut bisa kita jangkau kembali, dan diaplikasikan sesuai konteks sekarang. Mengkaji artefak secara langsung mungkin harus dilakukan melalui dua cara. Satu, melepaskan terlebih dahulu judgemet dan presuposisi yang selama ini sering dilekatkan pada artefak-artefak budaya. misalnya label musrik, porno, chauvinistic, primitif. Kedua, sekat-sekat antara science, art dan magi perlu diangkat terlebih dahulu. Sesuatu disebut magi, sesuatu disebut mistik karena memang kebanyakan orang tidak memiliki pengetahuan mengenainya, ditambah lagi faktor bahwa pengetahuan tersebut memang saat ini sangat terbatas.

Back to the thing itself, pahami budaya sebagaimana adanya.

Kebanyakan orang justru sibuk meributkan mana yang kosmologi science, mana yang kosmologi magi, dan mana yang kosmologi art, dan pada titik ekstrem masing-masing harus menentukan teritorialnya sendiri-sendiri. Padahal justru itu jebakannya. Tokh..seperti ilustrasi tentang telpon seluler di atas, sebenarnya dalam prilaku komunikasi kita ternyata sangat mampu menggunakan sekian macam paradigma sekaligus. Ya kan?

..magic is the bastard sister of science (frazer)..
by diah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar